Rabu, 05 November 2014

Jatuh Cinta Itu Keputusan Yang Berat

Seperti angin membadai, kau tak melihatnya. Kau merasakannya...
Seperti banjir menderas, kau tak kuasa mencegahnya. Hanya ternganga melihatnya menyeretmu hingga tenggelam...

Apa sih yang tidak bisa dilakukan cinta? Kerajaan Alengka hancur lebur oleh perang karena cinta Rahwana pada Shinta. Perang Troya tak lain tak bukan bermula dari kisah cinta Paris dan Helen dari Sparta. Kemegahan Taj Mahal pula merupakan pembuktian cinta dan kehilangan seorang Shah Jahan kepada istrinya. Bahkan kemerdekaan Indonesia, konon tak lepas dari takdir ditolaknya cinta Soekarno oleh seorang gadis Belanda.

Saya sendiri tak begitu faham soal cinta. Praktis, hanya keluarga dan Inter Milan yang seingat saya pernah saya cintai dalam jangka waktu yang benar-benar cukup lama. Selebihnya saya sangat awam. Terlalu awam. Bahkan kelewat awam.

Di hari-hari ini, kita kesulitan memberikan defenisi soal cinta. Sedemikian seringnya ia disebutkan, membuat maknanya jadi terdegradasi demikian rendahnya. Realita pergaulan anak remaja membuat kita kehilangan sakralnya cinta itu. Atau mungkin juga, karena kita tidak mengenal cinta itu sendiri. Ketidak kenalan kita padanya, membuat kita kehilangan rasa agung dan mulianya cinta. Seperti halnya kita tidak mengenal surga dan neraka, sehingga tak terbayang nikmatnya tiap menyebut surga atau tak terasa takut setiap kali melafalkan neraka.

Saya menyukai penjelasan Anis Matta soal cinta. Menurutnya jatuh cinta itu adalah sebuah keputusan yang berat. Ada taruhan kepribadian di dalamnya. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kita mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kita harus mampu membuktikan ucapan itu. Jadi jelas, cinta bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi lebih tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Karena cinta itu juga persis seperti keimanan. Ia membutuhkan hati, lisan dan tindakan. Cinta itu harus bermukim sempurna di hati, terucapkan dalam lisan serta berwujud dalam tindakan. Ia harus hadir dalam ketiga aspek tersebut untuk bisa dipanggil cinta. Hanya saja ia terefleksi dalam wujud yang kadang sedemikian absurdnya. Bahkan terkadang tak kasat mata orang lain, kecuali oleh ia yang sedang jatuh cinta itu sendiri. Bahkan seringkali juga tak kasat mata dari orang yang dicintainya pula.

Sungguh, jatuh cinta itu sebuah keputusan yang berat. Karena sejatinya perkerjaan mencintai memang bukan perkerjaan sederhana. Ia perkerjaan seumur hidup. Perkerjaan yang menuntut konsekuensi tidak sejenak. Panjang dan lama. Menuntutmu mengorbankan segalanya, waktu, harta bahkan apa saja. Terlebih berat lagi karena perkerjaan mencintai dan segala konsekuensinya ini menuntut masa kebertahanan yang lebih lama dari bertahannya keindahan fisik dan ragawi. Bisakah tetap saling mencintai ketika rambut kian memutih, kulit semakin kendur, dan bercerita tentang hal yang sama setelah bertahun-tahun menjalaninya bersama-sama.

Dan lebih dari itu, perkerjaan paling berat dari proses mencintai itu adalah menjaga kepercayaan. Tak ada cinta tanpa rasa saling percaya. Ketika perlahan rasa saling percaya memudar, maka saat itu pula perlahan-lahan cinta mulai hilang. Maka kebertahanan cinta selalu berbanding lurus dengan kebertahanan rasa saling percaya.

Ya, tapi kalau mau disederhanakan sebenarnya cinta itu sederhana saja. Bukan perkara siapa yang datang paling lama, paling pertama atau paling perhatian, dan segala macam defenisi yang dibuat orang-orang. Cinta itu tentang siapa yang datang kemudian tidak pernah pergi....




Rabu, 18 Juni 2014

Membangun Jembatan


Secara mendasar, manusia adalah makhluk yang materialis. Segala sesuatu dilihat secara terhingga (ada jangkauannya, misalnya pandangan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, dll), terbatas (ada bukti fisik sebagai akibat sesuatu bisa dilihat oleh mata), dan terhitung (ada jumlah bilangan dan satuannya, misalnya 1-10, A-Z,dll). 

Sementara itu, Islam seringkali mengajak manusia untuk melihat sesuatu secara tidak terhingga, tak terbatas, dan tidak terhitung (karena itulah kebanyakan produknya berwujud gaib, misalnya Tuhan, pahala, dosa, surga, neraka, kiamat, dll). 

Nah, jembatan yang akan menghubungkan dua hal yang bertolak belakang ini adalah iman. Hanya dengan imanlah manusia mampu melihat sesuatu yang ghaib di balik sesuatu yang berwujud dan terhitung. Tanpa iman, akal kita yang serba terbatas dan selalu menghitung segala sesuatu dengan perhitungan materi, tidak akan bisa tunduk pada kebesaran Allah yang wujudnya tidak pernah kita lihat. Karena itulah untuk mempercayai bahwa Allah itu ada (dan karenanya manusia lantas menyembah-Nya), manusia tidak perlu melihat wujudnya dalam bentuk-bentuk yang terhingga, terbatas, dan terhitung seperti patung, binatang ataupun benda, namun cukup dengan Iman. Begitupun pahala. Meski pahala itu tidak dapat dilihat, disentuh apalagi dipakai untuk belanja, namun keimanan telah membuat kita terus ingin mendapatkannya sebagai balasan amal-amal baik yang kita lakukan. 

Ramadhan yang akan menjelang ini, adalah bulan yang menuntut keimanan yang amat sempurna agar kita bisa meraih kemuliaannya. Bukankah Allah telah berfirman bahwa puasa itu adalah ibadahnya orang-orang beriman? Berbeda dengan sholat atau zakat, puasa adalah ibadah yang amat sangat privat. Puasa tidak kasat mata, tidak berbentuk dan tidak berwujud. Kita tidak akan bisa membedakan orang berpuasa dengan yang tidak berpuasa. Karena itu dalam sebuah hadist Qudsi, Allah berkata bahwa puasa itu adalah amalan yang diperuntukkan untuk-Nya. Dan Dia sendiri yang akan membalasnya secara langsung. 

Seperti halnya keikhlasan, puasa juga adalah sesuatu yang hanya terjadi antara kita dan Allah saja. Tanpa perantara. Hanya jembatan bernama keimanan itulah yang menjadi penghubung. Sehingga walau secara riil tidak ada orang yang melihat, namun kita tidak pernah mau diam-diam minum dengan sengaja. Karena keimanan telah mengajarkan kita bahwa Allah Maha Melihat. Begitupun kita selalu menunggu beduk maghrib benar-benar terdengar barulah akan berbuka puasa tanpa pernah korupsi waktu untuk berbuka walau cuma semenitpun. Lagi-lagi karena keimanan telah memberitahu kita bahwa puasa baru boleh di akhiri ketika telah masuk waktu maghrib. Dan iman inilah yang akan membuat kita jadi sanggup menanggung beban seberapapun beratnya. Malah merasakannya sebagai bukti cinta, bukannya sebagai beban. Seperti halnya Rasulullah dan para sahabatnya yang karena keimanan mereka, tak pernah gentar bahkan juga pada kematian sekalipun. 

Hanya dengan iman yang kuat dan kokoh, kita akan mampu menyambut ramadhan dengan kerinduan untuk menangguk pahala sebesar-besarnya, mencukur dosa hingga habis, dan mengharap cinta dari Allah. Dengan iman pula kita akan merasakan betapa lezatnya menikmati hari-hari kebersamaan dengan Allah dalam tiap rasa lapar dan dahaga kita. Dan dengan iman ini lah kita pada akhirnya akan bisa mengenal Allah lebih dekat dan lebih dekat lagi. Bukannya malah silau pada hal-hal kecil yang tidak berarti seperti menu-menu makanan yang spesial, euforia singkat televisi atau pesta pora di akhir ramadhan. 

Lalu, seperti apa kiranya jembatan keimanan yang kita miliki saat ini? Sebuah jembatan kokoh yang sanggup menanggung beban berapapun di atasnya, atau hanya sebuah jembatan tua yang rapuh dan banyak kerusakan di sana-sini. Atau jangan-jangan jembatan kita telah lama runtuh dan kita alpa untuk memperbaikinya. 

Ramadhan ini adalah saat yang tepat untuk kita kembali memperbaiki jembatan kita. Menambal bagian-bagiannya yang rusak dan memperbaharui pilar-pilarnya yang lapuk. Karena tanpa jembatan ini, maka kita tidak akan pernah sempurna menjadi seorang hamba. Kita tidak akan sempurna menjadi seorang pecinta.

Kamis, 22 Agustus 2013

Indonesia Raya, Amiiiin...


Beberapa anak-anak sedang mengadakan upacara bendera. Seperti selayaknya upacara bendera, ketika sang dwi warna dikerek mendaki tiang yang dibuat seadanya, sebagian anak-anak itu menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia raya....
Amiiin.....

Dipenghujung lagu Indonesia Raya tersebut, seorang bocah yang paling kecil diantara yang lainnya menambahkan kata amiiin. Sejenak teman-temannya saling pandang kebingungan. Namun kemudian ikutan mengatakan Amiiin.

Masih ingat bukan dengan adegan ini? Ya, ini hanyalah sebuah lakon dari film besutan Dedi Mizwar, Alangkah Lucunya (Negeri Ini) beberapa tahun yang lalu. Sebuah film yang ketika menontonnya sukses membuat saya tertawa, termasuk di adegan yang satu ini.

Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) bisa jadi adalah cara yang paling sederhana untuk membetot kesadaran kita. Bahwa di negeri yang kita cintai setengah mati ini ada begitu banyak ironi yang bisa membuat kita tertawa terbahak-bahak sekaligus menampar diri kita sendiri dan menyadarkan kita, yah... memang beginilah Indonesia.

Peringatan hari kemerdekaan tahun ini menandai usia 68 tahun bangsa merdeka ini. Dan saya sampai sekarang masih berusaha mempercayai bahwa guru-guru saya di sekolah dasar dulu tidak sengaja berbohong dengan mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Negara yang pantas dibanggakan. Indonesia yang negara agraris. Indonesia yang negara maritim. Indonesia yang kaya akan segalanya.

Saya dan generasi ini akan terus mencoba berprasangka baik bahwa guru-guru kami tak berniat membohongi kami dengan bualan bahwa negeri ini sedemikian pentingnya dipercaturan dunia. Mendongengkan kami bahwa negeri ini terletak diantara dua benua serta diapit oleh dua samudra, sehingga seluruh bangsa-bangsa di dunia ini berlomba-lomba untuk menjajahnya. Menganggap bahwa negeri ini berperadaban dan berkebudayaan tinggi, padahal dalam realitanya orang kita bahkan banyak tidak pernah mampu belajar bagaimana antri dengan benar.

Sungguh, dalam 68 tahun usia negeri ini, kami masih mencoba percaya bahwa Indonesia di dirikan dengan sebuah cita-cita mulia. Lahir dari buah pemikiran hebat para founding father bangsa yang telah berkorban banyak hal untuk kemerdekaan. Kemerdekaan yang oleh mereka sendiri, digambarkan bertujuan untuk "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia."

Menginjak usia yang ke 68 tahun, kami dari generasi yang terpisah lebih dari separuh abad dari perjuangan mengharu biru mengibarkan sang saka merah putih ini, sedang berusaha meyakinkan diri kami sendiri setengah mati, bahwa bendera yang tiap pekan kami hormati itu punya makna yang lebih dari sekedar selembar kain berwarna merah dan putih biasa. Bahwa lagu Indonesia Raya tak sekedar gubahan orkestra biasa tanpa makna apa-apa dibaliknya. Bahwa Pancasila bukan sekedar omong kosong belaka tapi sebuah cita-cita sekaligus doa untuk masa depan Indonesia.

Di 28 Oktober 1928, ketika seorang pemuda kurus bernama Wage Rudlof Supratman memainkan biolanya dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, mungkin ia membayangkan Indonesia yang merdeka. Indonesia yang sejahtera. Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah-nya. 

Hiduplah tanahku, hiduplah negriku 
Bangsaku rakyatku, semuanya 
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya 
Untuk Indonesia Raya... 

Bertahun-tahun lamanya ratusan orang di negeri ini juga menyanyikan lagu ini penuh kebanggaan, sambil berharap apa yang dicita-citakan WR Supratman ini bukan sekedar mimpi siang bolong. Walau dalam realitanya mereka selalu dan selalu dibuat kecewa oleh penguasa bangsanya. 

Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku 
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku 
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah air ku 
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu... 

Semoga para pemuda Indonesia masih percaya. Masih percaya bahwa Indonesia adalah negeri yang besar. Negeri yang bercita-cita luhur melindungi dan menyejahterakan seluruh rakyat. Semoga kita masih percaya bahwa cita-cita bapak pendiri bangsa ini bukan sekedar omong kosong atau mimpi siang bolong. Sambil sedikit-sedikit mari kita coba mulai perbaiki negeri yang sakit ini, dan berharap jangan sampai generasi selanjutnya hanya menganggap Indonesia Raya, sekedar orkestra klasik biasa, tanpa meyakini cita-cita besar yang ditanamkan WR Supratman dalam lirik-liriknya. 

Barangkali juga, mungkin kita memang perlu mencontoh satire dari Dedi Mizwar di awal tulisan ini. Mungkin di akhir Indonesia Raya yang kita kumandangkan saban senin itu, perlu kita tambahkan kata "Amiiin." Mungkin dengan begitu, doa WR Supratman agar bangsa Indonesia menjadi Indonesia Raya akan dikabulkan Tuhan.

Kamis, 15 Agustus 2013

Berlebaran Di Kota Seribu Kelenteng

Di hari lebaran seharusnya adalah saat yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Tapi di lebaran beberapa tahun yang lalu, tepat di hari kedua syawal, saya dan beberapa orang kawan malah menyisir jalan raya di pesisir barat Borneo untuk menuju Singkawang, kota seribu klenteng.

Singkawang mungkin lebih terkenal sebagai kota yang kental dengan budaya Tiong Hoa dan perayaan Cap Go Meh-nya. Tapi melewatkan lebaran di Singkawang tetap menjadi salah satu memori yang manis yang tidak bisa dilupakan.


Perayaan lebaran di Singkawang sekilas tampak biasa saja. Pertokoan di pusat kota masih banyak yang tampak buka. Terutama karena kebanyakan pertokoan-pertokoan di Singkawang memang milik para pedagang etnis Tiong Hoa. Karena itu, meski di hari lebaran, tak usah khawatir kesulitan belanja. Malah di Singkawang, kita akan dimanjakan oleh deretan pertokoan-pertokoan. Ada yang masih berupa bangunan tempo dulu, ada juga yang telah menyulapnya menjadi bangunan bergaya moderen. Saya dan kawan-kawan menjuluki Singkawang sebagai Braga-nya Kalimantan Barat bahkan ada teman saya yang menyebutnya sebagai Ginza-nya Indonesia.


Satu hal yang bisa saya tangkap ketika pertama kali sampai di pusat kota adalah betapa masyarakat kota itu rukun dalam perbedaannya. Dua bangunan ibadah tampak berdiri megah dalam jarak yang tak terlalu berjauhan. Yang satu Masjid Agung Singkawang yang tampak megah dengan dua menara menjulangnya. Sementara tak jauh dari sana, Kelenteng Vihara Tri Dharma berdiri kokoh dalam nuansa merah. Saya berkesempatan mengabadikan gambarnya dalam satu frame kamera foto. Sebagai bukti bahwa perbedaan tak selalu menjadi pemicu perpecahan. Bukan hanya itu, ketika saya menginap di rumah salah seorang teman, saya mendapati bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi orang Tiong Hoa di Singkawang, untuk ikut berkunjung ke tetangganya yang muslim ketika Idul Fitri. Bukti lain bahwa kerukunan beragama telah terjalin di kota ini.


Menginap semalam di kota Singkawang, membuat saya berkesempatan menikmati keindahan kota itu. Bangunan-bangunan tua yang masih banyak tersisa membuat kota itu tampak kian eksotis. Sulit menemukan suasana kota yang sama seperti di Singkawang. Saya juga berkesempatan menikmati makan malam di Villa Bukit Mas. Sebuah Rastoran sekaligus penginapan yang berada di atas bukit. Dari sana, kita bisa menikmati makan malam sambil mengagumi indahnya pemandangan kota Singkawang malam hari dari ketinggian. Sebuah pengalaman makan malam yang menyenangkan. Sayang saya tidak sedang bersama pasangan.

Esok paginya sebelum pulang, saya dan teman-teman mencoba hiking mendaki ke salah satu bukit di Singkawang yang oleh masyarakat sekitar di sebut gunung Poteng. Sebenarnya di sekitar Singkawang ada banyak objek wisata pantai yang bisa dinikmati, namun karena saya dan teman-teman sudah cukup sering ke pantai, jadi kami memutuskan untuk hiking.

Di puncak gunung poteng ini terdapat sebuah kolam pemandian dengan aliran air gunung yang sejuk dan deras. Sayang tempat pemandian tersebut tidak cukup terawat meski airnya sangat bersih. Namun sebagai tempat untuk mandi dan menikmati sejuknya aliran mata air gunung, rasanya sudah cukup. Apalagi sebelumnya harus berkeringat mendaki bukit tersebut karena jalan menuju tempat pemandian tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan roda empat.

Jumat, 02 Agustus 2013

Book Review : Sepotong Senja Untuk Pacarku



Sukab memang keterlaluan. Demi Alina, orang yang dicintainya, ia nekat memotong senja dengan pisau swiss-nya lalu mengirimkannya pada kekasihnya itu lewat Pos. Akibatnya, ia dikejar-kejar polisi setelah dunia gempar karena telah kehilangan senja. Sialnya lagi tukang Pos yang mengantarkan senja itu tak cukup amanah sehingga senja itu harus tertunda sampai sepuluh tahun untuk akhirnya sampai ke tangan Alina. 

Kalau anda menganggap Sepotong Senja untuk Pacarku sebagai sebuah percintaan gombal ala-ala anak SMA, berarti anda telah tertipu oleh judulnya. Kalau anda juga berfikir buku ini hanya berkisar tentang kisah Sukab memperjuangkan cintanya pada Alina dengan konflik-konflik model sinetron-sinetron Indonesia, oh... anda sudah keliru besar. 

Terdiri dari 13 cerita pendek yang bisa dengan bebas kita nikmati entah itu sebagai potongan kisah yang berdiri sendiri-sendiri ataupun sebagai sebuah kesatuan utuh yang saling berkaitan, Seno Gumira Ajidarma sedang mengajak kita memasuki sebuah dunia baru yang ia ciptakannya. Dunia yang absurd, aneh dan unik. 

Keliaran imajinasi ala SGA, membuat tema-tema sederhana yang diangkatnya terasa menarik dan tidak membosankan. Cerita seorang pria yang mencintai seorang wanita sudah biasa. Tapi ketika si pria nekat mencuri senja untuk membuktikan cintanya, tentu ini jadi tak biasa bahkan tak masuk akal. Tapi ini bukan dunia biasa. Ini dunia ciptaan SGA (saya menyebutnya dunia Sukab) dan hal itu bisa-bisa saja terjadi. 

Begitupun dalam cerita Hujan, Senja dan Cinta. Tentu cerita seseorang lelaki yang setia pada wanita yang dicintainya meski wanita itu sudah menikah dengan lelaki lain terdengar klise. Tapi jika kemudian kesetian itu berwujud dengan hujan yang selalu mengikuti kemanapun si wanita pergi hingga membuatnya jengkel sendiri, saya bisa jamin ini bukan tema pasaran. Tidak masuk akal? Ya. Tapi inikan dunia Sukab. Semua sah-sah saja. 

Meski judulnya agak gombal, namun sebenarnya buku ini bukan kumpulan kisah romance. Praktis hanya dua cerita yang boleh dibilang romantis (Sepotong Senja untuk Pacarku dan Hujan, Senja dan Cinta). Sisanya justru tidak menyuguhkan kisah-kisah romantis. Beberapa seperti cerpen Kunang-Kunang Mandarin malah berbicara tentang sesuatu yang mengerikan. Bahkan cerpen Jawaban Alina (balasan Alina atas senja yang dikirimkan Sukab) justru bercerita tentang musnahnya umat manusia. 

Absurd. Mungkin itulah kesan yang akan anda rasakan begitu selesai membaca buku ini untuk pertama kali. Tapi surealisme khas SGA ini berhasil hadir dengan gurih dan cukup ringan. Sebagian memang akhirnya tetap terasa berat dan sulit untuk dimengerti. Tapi tekhnik penceritaannya yang memikat, membuat kita tetap bisa menikmatinya dari awal hingga akhir. 

Kalau anda selama ini cuma terbiasa dengan cerita-cerita teenlit, mungkin akan terbengong-bengong dengan keanehan dan segala hal tak masuk akal dalam cerita di buku ini. Tapi kisah-kisah di Sepotong Senja untuk Pacarku memang tidak untuk dibenturkan dengan logika. Nikmati saja, sambil sedikit-sedikit cobalah maknai metafora-metafora di dalamnya. Setidaknya anda mungkin jadi bisa setuju dengan saya bahwa dunia yang sempit ini tidak cukup untuk membatasi imajinasi manusia. 

Rate: 4/5 

Judul buku : Sepotong Senja untuk Pacarku 
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Tahun Terbit : Januari 2002 
Jumlah Halaman : 218 

Daftar isi : 
– Sepotong Senja untuk Pacarku 
– Jezebel 
– Ikan Paus Merah 
– Kunang-kunang Mandarin 
– Rumah Panggung Tepi Pantai 
– Peselancar Agung 
– Hujan, Senja dan Cinta 
– Senja Hitam Putih 
– Mercusuar 
– Anak-anak Senja 
– Senja yang Terakhir 
– Jawaban Alina 
– Tukan Pos dalam Amplop

Rabu, 31 Juli 2013

Karena Sakit Kepala Tak Bisa Dibohongi

Hidup itu memang penuh kejutan ya?

Kemarin-kemarin, mana saya pernah terfikir menjadi seorang penyiar radio. Dibenak saya, para penyiar radio adalah orang-orang dengan kemampuan berbicara di atas rata-rata, punya vokal yang bagus serta tentu saja tidak pernah kehabisan ide saat berbicara.

Saya sendiri mengidientifikasi diri saya sebagai seorang pendiam. Di lingkungan baru, atau jika berhadapan dengan teman-teman baru, saya cenderung diam. Mendengarkan tanpa banyak bicara. Mencoba menyesuaikan. Makanya, jika mengikuti seminar atau training jangan pernah berharap saya akan sengaja bertanya. Saya akan memilih diam di bawah radar. Tidak terdeteksi.

Karena itulah saya selalu merasa tidak punya bakat untuk perkerjaan bernama penyiar radio. Tapi sekarang, sudah dua bulan ini saya bolak-balik di Radio Volare, sebuah radio swasta dan salah satu yang tertua di kota Pontianak. Awalnya lumayan kagok. Terutama jika sudah berhadapan dengan para penyiar lain yang mungki dari lahir sudah selalu heboh dan berisik. Dan saya, lebih banyak diam sambil mencoba beradaptasi.
Sejauh ini saya menikmati perkerjaan ini. Berhadapan dengan mic dan mixer yang kadang bikin ribet, berinteraksi dengan para pendengar setia, dan membuat obrolan yang seru dengan penyiar-penyiar lainnya saat mengudara. Satu hal yang saya percaya dengan pasti, asal kita mau belajar, kita bisa menjadi apapun. Dan saya sedang belajar untuk menjadi penyiar radio yang baik.

Tapi menjadi penyiar, bukannya tanpa tantangan. Selalu tampil ceria ketika membawakan program adalah sebuah keharusan. Seorang penyiar harus mampu menghadirkan suasana yang hangat dan menyenangkan ketika mengudara. Seperti apapun suasana hati atau kondisi si penyiar, yang dihadirkan kepada para pendengar haruslah keceriaan.

Yang paling tidak enak tentu saja ketika migrain tiba-tiba menyerang. Sulit rasanya bisa bertugas dalam keadaan seperti itu. Percayalah, bersiaran sambil menahan rasa sakit dikepala bukan sesuatu yang bagus. Jangan mengharapkan siaran akan bisa dibawakan dengan baik yang ada malah para pendengar nanti yang jadi korbannya. Karena itu lebih tepat rasanya meminta penyiar lain untuk menggantikan bersiaran.

Hanya saja, tak setiap saat ada yang mau menggantikan bersiaran. Di saat-saat seperti itulah Bodrex bisa dijadikan solusi. Dengan Bodrex Migra, sakit kepala sebelah tidak akan lagi mengganggu saya bersiaran. Reaksinya yang cepat membuat saya sanggup tetap menghadirkan kecerian ketengah-tengah pendengar setia radio Volare, meski migrain tersebut datang menjelang saat-saat saya harus mengudara.


Memang tidak ada pilihan lain, menyiapkan Bodrex Migra (dan tentu saja varian Bodrex yang lainnya) adalah suatu keharusan. Karena tidak jarang, ketika sakit kepala menyerang kita punya setumpuk tugas yang masih harus diselesaikan atau segudang aktivitas yang harus dijalani. Dan ketika kesibukan tak mau berkompromi, sementara sakit kepala tak bisa dibohongi, Bodrex yang terbukti Juaranya reaksi cepat, mungkin bisa menjadi jawaban.
 
 Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Bodrex Juaranya Cepat yang diselenggarakan Bodrex dan VIVAlog

Senin, 29 Juli 2013

Saatnya Mendengar Mereka Berbicara

Refleksi Hari Anak 2013

Dunia hari ini adalah dunia yang semakin tidak nyaman untuk ditinggali. Kerusakan, ketidakadilan, pertikaian hingga perperangan adalah hal yang selalu kita jumpai dalam banyak siaran berita hampir setiap hari. Dan kompetisi hidup pun jadi semakin beringas, semakin egois dan semakin kejam. Seolah zaman menuntut kita ber-evolusi sekali lagi. Melakukan apa yang oleh Charles Darwin di sebut sebagai seleksi hidup.

Dan dalam banyak kasus, anak-anak selalu menjadi korban paling pertama dan utama. Dalam berbagai macam pertikaian yang masih saja terjadi, dengan berbagai kepentingan di dalamnya, anak-anaklah yang paling terlebih dahulu merasakan dampak dan merasakan secara langsung akibat dari pertikaian tersebut. Dalam berbagai kepentingan politik, tak jarang juga anak-anak kehilangan hak-hak mereka entah untuk sebuah kehidupan yang layak atau pendidikan yang memadai. Bahkan pula tidak jarang kita temui, anak-anak menjadi objek eksploitasi dari para orang tua, atau bahkan menjadi pelampiasan ambisi para orang tua.

Saya yakin semua orang sepakat bahwa anak-anak adalah cerminan masa depan dari sebuah bangsa. Tapi sedikit sekali yang mau benar-benar menjadikan mereka sebagai asset berharga yang kelak nanti akan menjadi penentu baik buruknya wajah negeri ini. Yang ada adalah anak-anak kita kadang dibiarkan berada dalam posisi tak terlindungi, baik dari ancaman yang berupa kekerasan ataupun eksploitasi, maupun dari ancaman arus negatif yang tidak henti-hentinya menghantui anak-anak baik di negeri ini, maupun di belahan dunia manapun.

Saya selalu percaya bahwa setiap anak lahir dengan kesempurnaannya masing-masing. Karena itu saya juga percaya bahwa siapapun mereka punya potensi untuk menjadi agen perubahan. Berbicara, bergerak bahkan bahkan menjadi pioner untuk sebuah perubahan yang lebih baik.

Mari kembali ke tahun 1992, untuk mengenang sebuah kejadian yang sangat luar biasa sekaligus harusnya membuat kita orang dewasa menjadi malu. Seorang anak berusia 12 tahun, Severn Cullis-Suzuki telah membungkam dunia dengan pidato 5 menitnya. Ia bersama rekan-rekan remajanya di Environmental Children’s Organization (ECO), organisasi yang didirikannya bersama teman-teman seusianya mengumpulkan uang guna menghadiri Earth Summit yang dilaksanakan di Rio de Janeiro, Brazil. Di forum resmi PBB yang dihadiri hampir seluruh delegasi negara-negara di dunia.

Dan di akhir tulisan ini saya sengaja mengutip isi pidato Severn Cullis-Suzuki kala itu agar kita semua, terutama para orang dewasa menyadari bahwa anak-anak kita adalah harta karun yang wajib kita jaga. Di dalam jiwa murni mereka, wajib kita nyalakan bara api kepedulian terhadap sesama dan kemauan untuk selalu berbuat kebaikan. Bukan malah mengotorinya dengan sifat tamak, rakus dan egois yang sering kali, baik sadar atau tidak kita contohkan dan ajarkan pada mereka. Mari kita belajar pada Severn, mari belajar untuk mendengar mereka, dan mari dorong mereka untuk membangun sebuah dunia yang lebih baik.
Severn Canellis-Suzuki

Pidato Severn Canellis-Suzuki, dihadapan para delegasi dunia di forum Earth Summit, di Rio de Janeiro, pada tahun 1992. 

Halo, nama saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O - Enviromental Children Organization. Kami adalah kelompok dari Kanada yang terdiri dari anak-anak berusia 12 dan 13 tahun, yang berusaha untuk membuat perbedaan, yaitu : Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini, dari tempat yang jauhnya 6000 mil, untuk memberitahukan pada anda sekalian, orang-orang dewasa, bahwa anda harus mengubah cara anda. Hari ini, di sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja. 

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada di sini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang. Saya berada disini mewakili anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar. Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya di seluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar. Saya merasa takut untuk berada di bawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan ozon. 

Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yang dibawa oleh udara. Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya, hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya. Hilang selamanya. Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya. 

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama seperti saya sekarang? Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap seolah-olah kita masih memiliki banyak waktu dan memiliki semua pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya, tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya! 

Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. 

Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. 

Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. 

Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya yang sekarang hanya berupa padang pasir… 

Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya, tolong berhenti merusaknya… 

Disini anda adalah delegasi negara-negara anda : pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi, tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi dan anda semua adalah anak dari seseorang. 

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama. Perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut. 

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama. Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan. 

Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan, kami membeli sesuatu dan kemudian membuangnya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja negara-negara di utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita. Kita takut untuk berbagi. Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan. Kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi. 

Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami : “Aku berharap aku kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, serta cinta dan kasih sayang.” 

Jika seorang anak yang berada di jalanan yang tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah? Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar. Bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio. Saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia, seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India. 

Saya hanyalah seorang anak kecil namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemisikinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini. 

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan pada kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain, mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan, tidak menyakiti makhluk hidup lain, berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut? 

Jangan lupakan mengapa anda menghadiri Konfrensi ini. Mengapa anda melakukan hal ini? Kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah yang memutuskan dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharusnya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan mengatakan : “Semuanya akan baik-baik saja”, “Kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan” dan “Ini bukanlah akhir dari segalanya.” 

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu berkata “Kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu bukan oleh kata-katamu.” 

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari? Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya menantang anda semua, cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut. 

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.